Senin, 28 November 2011

Membincang Pluralisme Dalam Tradisi Pesantren

membicarakan tema pluralisme dalam konteks tradisi pesantren memang tidak dapat dianggap ringan sebab alih-alih dapat mengundang pertanyaan lanjutan bukankah pluralisme bagian yang tak terpisahkan dengan dengan rekayasa demokrasi atau pembicaraan-pembicaraan mengenai hubungan agama-agama. ada kesengajaan memang mengangkat tema pluralisme ini dengan asumsi bahwa pesantren jauh sebelum tema pluralisme ini bergema di arena diskursif intelektual indonesia telah lama mengembangsuburkan gagasan serta praktek pluralisme, terutama sekali dalam menyikapi persoalan taksonomi pemikiran dalam islam yang sangat heterogen.

Pesantren sebagai ladang persemaian pemikiran-pemikiran islam klasik sesungguhnya sudah lama berlangsung. tetapi pemikiran yang bersilang tidak lantas saling menegasikan antara satu dengan yang lain. berbagai macam aliran dan pemikiran sudah dikaji secara bersama-sama secara kritis, tajam dan menggunakan berbagai macam metodologi yang sudah lazim digunakan. seperti pemikiran Syafii yang berseberangan dengan pemikiran Ahman bin Hambal sama-sama dikaji secara bersamaan tanpa harus mengenyampingkan satu dan mengunggulkan yang lain dan mensinkrongkan dengan realitas kekinian.

Nah, apa korelasi antara Pesantren dengan Pluralisme?? secara filosofis, sebenarnya Pluralisme diperlukan sebagai alat pengikat pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. mengapa kita butuh pluralisme karena kita tahu bahwa hal itu bagian dari adab.

adalah realitas yang tidak bisa dibantah bahwa keberagaman atau kebinekaan dalam kehidupan ini berkembang dan terus tumbuh secara baik di masyarakat. namun problemnya adalah bagaimana mengembangkan sikap hidup bersama secara inklusif dan terbuka.


lantas bagaimana ke depan? dalam konteks intelektual dipesantren, hal yang terpenting adalah bagaimana mengarahkannya menjadi sebuah pergulatan diskursif untuk membangunkan cara pandang yang lebih mengarahkan kepada sikap hidup yang bijak dan tidak cepat menghakimi seseorang atau kelompok pemikiran yang berseberangan dengannya. ini perlu ditekankan bukan untuk mengocok ulang paham atau keyakinan beragama kita, tetapi lebih ditujukan sebagai upaya untuuk melandasi sikap keberagamaan kita agar lebih terbuka, toleran, santun, dan apresiatif terhadap keragaman yang dimiliki oleh masyarakat.

yang paling penting adalah sikap saling menghargai dan menerima keberadaannya masing-masing tanpa harus saling mencela dan menghujat.