Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi
dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama,
tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan
bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam
pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu
berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan
rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun.
"Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa
digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayyidah Fatimah
sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya
Amirul Mu’minin”, wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah
kehidupan Imam Ali as. dan Sayyidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan
suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as. melahirkan putra
pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama
“Hasan”. Rasul saw. sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini.
Beliau pun menyuarakan azan pada telinga
kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan
ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah swt. berkehendak menjadikan keturunan
Rasulullah saw. dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan
penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan
mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw. keluar rumah, beliau selalu
membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw. lewat di depan rumah Fatimah as.
Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu
dan sedih mengatakan: “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku
dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as. melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum
pun lahir. Sepertinya Rasul saw. teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as. itu dengan nama-nama tersebut.
Dan
begitulah Allah swt. menghendaki keturunan Rasul saw. berasal dari putrinya
Fatimah Zahra as.
Sekembalinya dari Haji Wada, Rasulullah saw. jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan
akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as. bergegas menghampiri
beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh
berderai, Fatimah berharap agar sang
maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw. membuka kedua matanya
dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas
beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara
yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan
mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah
Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan
mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil
dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw. meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw. merupakan musibah yang sangat
besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah
tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as. mendapat
pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan
kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura
bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah
Az-Zahra as. berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan
keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as. melihat bahwa perlawanan terhadap
khalifah yang dilakukan Sayyidah Fatimah as. secara terus menerus bisa
menyebabkan negara terancam bahaya
besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw. akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam
masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as. meminta istrinya yang mulia
untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayyidah Fatimah as. pun berdiam diri dengan
menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya
adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah swt".
Sayyidah
Fatimah as. diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Sumber : Sayid Mahdi
Ayatullahi