Pada masa khilafah Imam Ali as,
Kufah merupakan ibu kota pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara kedua orang
laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as, dan yang lainnya adalah seorang laki-laki
yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani
ini sama sekali tidak mengenal beliau.
Berlangsunglah percakapan di antara kedua orang itu sambil berjalan,
hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi
dua; yang satu menuju kota Kufah dan
yang lainnya mengarah ke suatu
perkampungan.
Sumber Gambar : Google |
Laki-laki Nasrani itu merasa
tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama
orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia”. Ia pun sangat
terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman dan
keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya
teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
as, pemimpin negara Islam yang luas.
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang
akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan
kondisi tersebut. Akan tetapi, pada
kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali
kehilangan keseimbangn dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali
baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada
diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang
dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi.
Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya,
yakni perbuatannya senantiasa mengiringi ridha
Allah swt.
Perilaku Ali di dalam rumah
tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah
masyarakat senantiasa tunduk di bawah
syariat dan undang-undang Islam. Beliau
telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul
bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika
kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah
saw. kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan
musuh. Situasi saat itu sangat genting
dan membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika Amr bin Abdi Wud
dan sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.
Setelah berhasil melewati
parit dengan kudanya yang besar dan gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum
muslimin untuk turun ke perang tanding dengannya. Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara
Arab yang gagah berani.
Ketika itu sebagian besar kaum
Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk
Abu Bakar, Umar dan Utsman. Pada
kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan Amr. Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak
itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.
Sementara itu, Rasulullah saw
dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan
seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya”.
Akan tetapi Amr bin Abdi Wud
berusaha menghindar dari bertanding duel
dengan Imam Ali. Ia berkata, “Wahai Ali! Kembalilah! aku tidak
ingin membunuhmu”. Ali menjawab dengan
penuh kemantapan iman: “Tapi aku ingin membunuhmu”.
Mendengar jawaban itu, Amr
naik pitam dan begitu berang. Segera ia menghunuskan
pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun
Ali dengan cepat dapat menghindar
dari serangan pedang tersebut. Untuk
beberapa saat, kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis dan
menghindar.
Ali tidak memberikan peluang
sedikit pun kepada lawannya untuk
menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang
“Dzul Fiqar"-nya tepat mengenai sasaran yang membuat Amr jatuh tersungkur
di atas tanah. Pemandangan tersebut
membuat kawan-kawan Amr ketakutan dan mundur secara teratur.
Namun, tatkala Ali hendak
menghabisi nyawanya, Amr yang congkak itu malah
meludahi wajahnya. Untuk sesaat
saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan
niat untuk membunuh Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini
agar tebasan pedangnya bukan sebagai
pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keihlasannya yang murni kepada Allah swt. dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria
teladan bagi seluruh prajurit di semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir
indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa
kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw.
Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru dan puas. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas
Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain”. Yakni, pukulan
pedang Imam Ali as. yang membelah badan
Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib
dengan Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu
dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka
menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, “Allahu Akbar”. Seketika itu pula dada
mereka bergetar ketakutan, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk
melanjutkan peperangan.
Akhirnya mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan
kota Madinah dan kembali menarik diri
dengan segenap kepiluan, kegagalan dan kekecewaan.
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah
berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih
sayang. Manusia yang berjiwa laksana
pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Beliau tidak mau membunuh
musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik
kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah
menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan
musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan
perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh
Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Siffin misalnya, pasukan Muawiyah berhasil menguasai
sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah
prajurit Imam Ali as. untuk mendekati sungai tersebut. Namun beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan dan
kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi Muawiyah tidak
mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan
tujuannya yang rakus dan hina.
Pada saat itu Imam Ali as.
berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga
pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan
seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk,
dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul”.
Dengan serentak para prajurit
Imam Ali as. menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan
dengan mudahnya mereka merebut sungai
itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa
mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai
tersebut. Akan tetapi Imam Ali as.
segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak
menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan
akhlak Islam dalam peperangan.
Masih pada masa-masa menjabat
sebagai Amiril Mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin, Imam Ali as.
menghadapi berbagai tantangan, bencana dan kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.
Imam Ali as. sama sekali tidak memiliki dendam
pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi
beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap
dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan beliau tidak membeda-bedakan dalam
membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili dan
orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang
wanita bernama Saudah datang menjumpai Amiril Mukminin Ali as. untuk mengadukan
perlakuan buruk seorang pegawai pajak
terhadap dirinya. Ketika itu beliau
sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan seorang wanita itu yang datang
menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.
Seusai salat, beliau menoleh
kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa
yang bisa saya lakukan untukmu?”. Sambil
menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan
perlakuan buruk pegawai saat mengambil pajak dariku”. Mendengar hal itu Imam Ali as. terkejut dan
menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa
aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu”.
Setelah itu beliau megambil
sepotong kulit dan menuliskan sebuah
perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut
beliau serahkan kepada Saudah. Dengan
gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang
bersangkutan.
Pada suatu hari Amiril
Mukminin Ali as. menerima laporan dari kota Basrah bahwa gubernur kota itu yang
bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya.
Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.
Dalam surat itu Imam Ali as.
menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik
undangan tersebut. Karena sesungguhnya
orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar
menyajikan jamuan makanan semata. Akan
tetapi acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk
penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan
berbagai saran dan nasihatnya yang perlu
direnungkan dan dicamkan baik-baik.
Dalam surat tersebut Imam Ali as. mengatakan, “Wahai Ibnu
Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang
mengundangmu untuk menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang
hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna
warni. Sungguh aku tidak mengira bahwa
engkau sudi menghadiri makanan seseorang
yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak
mereka hiraukan.
"Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan
diikuti petujuk cahaya ilmunya.
Ketahuilah! Sesungguhnya pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan
dua helai jubah yang kasar, dan
makanannya hanya dengan dua potong roti kering”.
Salah seorang sahabat Imam Ali
as. yang bernama Ady bin Hatim At-Thaie pernah ditanya seseorang tentang
pemerintahan beliau, ia berkata, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di
sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi
kuat disisinya karena hak-haknya terpenuhi”.
Tentang keadaan hidupnya, Beliau sendiri pernah
menggambarkan, “Bagaimana mungkin aku
menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan
kesengsaraan mereka”.
Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu
tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas sambil menjahit sandalnya,
“Menurutmu berapa harga sandalku ini?”.
Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat murah, bahkan tidak ada
harganya”. Kemudian Imam Ali as berkata,
“Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan
dan jabatan sampai aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan”.
Sejak hari pertama menjadi
khalifah kaum muslimin, Imam Ali as. menegaskan di hadapan khalayak bahwa
pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara
rakyat, bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (selain
orang Arab) kecuali dengan taqwa. Beliau
pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.
Sebagian orang mengecam jalan
pemetintahan beliau tersebut. mereka memberikan usulan agar beliau kembali
kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah
sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak
dengan jawaban keras, “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan
dengan jalan kezaliman?”. Beliau
melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka akan
aku bagi rata kepada seluruh rakyat, hanya saja harta itu adalah milik Allah”.
Pada suatu hari kakak beliau
yang bernama Aqil datang ke rumahnya.
Imam Ali as. menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil
tidak melihat apa-apa di atas sufrah
(alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada
Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?”.
Beliau menjawab, “Bukankah ini
adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”.
Kedatangan Aqil sebenarnya
untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as. demi menutupi hutangnya. Imam
berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku”. Aqil mulai merasa kesal dan berkata,
“Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu?
Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?”. Imam as. membalas, “Kalau kau mau,
ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar
bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat
peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita
ambil harta kekayaannya”. Aqil
menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!”. Imam as menjawab, “Mencuri harta kekayaan
seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik
semua kaum muslimin”.
Beliau makan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan
penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang
berkata kepada beliau, “Muawiyah
membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung. Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan
hal yang serupa?”. Imam as menjawab, “Apakah
kalian ini hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”.
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat,
seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya.
Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as. Dengan segera beliau keluar menuju rumah
suami wanita yang malang tersebut.
Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau
membuka pintu tersebut.
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda
tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan, ia mengancam akan
menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya
kepada Imam.
Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati
jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as, “Assalamualaikum
Wahai Amirul Mukminin!”. Mendengar
ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini
berada di hadapannya adalah Khalifah kaum muslimin.
Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu
menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf
dalam-dalam. Pemuda itu berjanji kepada
Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan
memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan
hidup dengan penuh kedamaian.
Pada tahun 10 H,
Rasulullah saw. melaksanakan ibadah haji
Wada’. Haji Wada’ adalah haji terakhir
sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau
merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah swt. Sejak awal masa risalah, sering kali beliau
menyampaikan perkara tentang seseorang
yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum
muslimin.
Nabi saw. senantiasa berfikir
bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi
Thalib as. Mengenai kekhilafahannya
beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para sahabat, “Ali
senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali”. Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah
kota ilmu sedang Ali adalah pintunya”.
Jabir bin Abdillah Al-Ansari
ra. pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali
dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as”.
Lain dari itu, para sahabat
pun pernah mendengar wasiat Nabi saw. yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai
saudaraku, putra pamanku Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang
mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali
orang munafik”.
Sampai pada tanggal 18 bulan
Dzul Hijjah dari tahun itu, Rasulullah saw. kembali dari melaksanakan haji
Wada' yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as. turun membawa pesan
langit untuk beliau.
Rasulullah saw. menghentikan
perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar
menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya
terik matahari yang membakar itu, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan
kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya.
Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku
akan memenuhi panggilan-Nya itu.
Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian,
maka apakah yang akan kalian katakan?”.
Kaum mslimin dengan serentak
menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi
bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah
berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan”.
Nabi saw melanjutkan, “Bukankah
kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah
nyata, kematian adalah nyata, Kebangkitan adalah nyata, Hari Akhirat itu tidak
diragukan lagi kejadiannya, dan
sesungguhnya Allah swt. akan
membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur”.
Kaum muslimin menjawab lagi
dengan serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua”.
Rasulullah saw. menengadah ke
hadirat Allah swt, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka itu!”.
Lalau beliau menyambung
khutbahnya, “Wahai sekalian manusia!
sesungguhnya Allah swt. adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin
kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang
mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya.
"Dan sesungguhnya aku
meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga
yaitu, 'Kitabullah' (Al-Qur’an) dan 'Ithrah' (Ahlul Bait)”.
Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan
menyaksikan Nabi saw. mengangkat tangan
Ali bin Abi Thalib as. sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh
kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar
setia) kepada Imam Ali as. mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam
sejahtera atasmu wahai pemimpin kaum mukminin!”.
Sejak hari pertama khilafah
dan kepemimpinannya, Imam Ali as
menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan
keadilan, menjalankan undang-undang Allah swt. dan menindak segala macam
kezaliman dan kejahatan.
Masyarakat muslim telah terbiasa
menghadapi kezaliman dan ketidakadilan
pada masa-masa sebelumnya. mereka
telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada
hukum-hukum Allah; mereka
mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan
harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia
kepada kekuasaannya saja. Sementara
sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam
keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as
menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan di
tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka
menyambutnya dengan penuh harapan. Lain
halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Sebagian mereka sangat khawatir kekayaan,
kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as.
Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan
langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as. berkobarlah
api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum
Muslimin. Sejarah mencatat bahwa perang
Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang
Siffin, lalu perang Nahrawan.
Setelah kaum Khawarij
mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil
mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan
penghalang mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.
Ketiga orang itu adalah Ibnu
Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad
untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash dan Imam Ali as. ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan
pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H, Ibnu Muljam melakukan
rencana jahatnya.
Seperti biasa, subuh itu Imam
Ali as memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah,
Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang
tenagh bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam
segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau
As. Darah suci beliau berhamburan memerahi mihrab dan
pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu
meratap lemah, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Demi Tuhan ka’bah! Sungguh aku
telah menang).
Pada saat itu, terdengar oleh
masyarakat suara dari langit berucap: “Demi
Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah
terbunuh, ....orang yang paling celaka
telah membunuhnya".
Ibnu Muljam berusaha melarikan
diri dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as,
beliau berkata kepadanya:
“Bukankah aku selalu berbuat
baik kepadamu?”.
Ia menjawab : “Ya,
betul”.
Sebagian orang berusaha untuk
melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam, akan tetapi Imam Ali mencegah
mereka. Bahkan beliau berpesan kepada
putranya Hasan as. agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau masih
hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as.
menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as. melaksanakan
hukum Qisas Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.
Demikianlah Imam Ali as, sang
pemimpin yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia
Rasulullah saw. Jenazah beliau
dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam. []
Karya: Sayid Mahdi
Ayatullahi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
anda sopan kami pun bersambut